Another Love Story

Kelas 1 SMU

Ku duduk diam di dalam kelas sambil menatap lekat cewek manis yang duduk tepat di samping mejaku. Wajahku tak mampu berpaling selain menuju ke arahnya: menatap tajam gerai rambut panjangnya dan matanya yang  indah. Mantra dihatiku pun lagi-lagi kembali kulafalkan, “seandainya saja dia milikku, seandainya…”. Tentu saja, dia tak pernah tahu kalau aku begitu menyukainya, yah, aku paham itu. Setelah lonceng kelas terakhir berdentang, dia berdiri dan melangkah pelan menuju ke arahku untuk mengambil buku miliknya yang tak sengaja tertinggal di kelas beberapa hari yang lalu. Dia mengucapkan ‘terima kasih’ dan memberikan usapan lembut di kepalaku. Ingin sekali aku mengutarakan, kalau aku ingin lebih dari bersahabat, karena aku mencintainya, tetapi aku terlalu malu.

Kelas 2 SMU

Teleponku berbunyi. Siapa lagi kalau bukan dia. Dia berbicara dalam tangisan pelan tentang hubungan cintanya yang baru saja berakhir. Dia memintaku untuk datang ke rumahnya, karena dia tak ingin sendiri dalam keadaan sedih. Tentu saja aku memenuhi permintaannya. Ku duduk disebelahnya di sofa, kutatap mata lembutnya, lagi-lagi aku berharap, seadainya saja dia milikku, tak akan pernah aku lukai hatinya. Setelah dua jam, satu film drama romantis, dan 3 bungkus makanan ringan kesukaannya, dia memutuskan untuk tidur. Dia melihatku, dan mengucapkan ‘terima kasih’ dan usapan lembut di kepalaku. Ingin sekali aku mengutarakan, kalau aku ingin lebih dari bersahabat, karena aku mencintainya, tetapi aku terlalu malu.

Hari Kelulusan SMU

Sehari sebelum malam perpisahan, ia menghampiriku di meja kelas. “Pasanganku untuk malam perpisahan sakit,” ucapnya pelan sambil menatapku penuh harap; dan dia pun mengingatkan perjanjian kami ketika masuk SMU, yaitu bila nanti salah satu dari kami tidak punya pasangan di malam perpisahan, maka kami akan berangkat berdua sebagai sepasang ‘sahabat’. Jadi itulah yang kami lakukan. Malam perpisahan, aku berdiri di depan pintu rumahnya. Aku hanya bisa menatapnya tanpa jeda, dan dia tersenyum dan menatapku kembali dengan mata jernihnya. Seandainya saja di milikku, tapi aku selalu tahu, dia tidak pernah berfikir sejauh itu mengenai hubungan kami berdua. Dan kemudian, dia bilang, “Aku seneng banget malam ini! Thanks ya!” dan dia pun memberikan usapan lembut di kepalaku. Ingin sekali aku mengutarakan, kalau aku ingin lebih dari bersahabat, karena aku mencintainya, tetapi aku terlalu malu.

Wisuda

Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Waktu berlalu begitu cepat dan hari ini adalah hari wisuda kami di kampus. Aku menatapnya seperti malaikat yang turun ke bumi, melihat sosoknya berdiri di panggung penerimaan ijazah. Aku masih menginginkannya, tetapi dia tak pernah akan mau lebih dari bersahabat, dan aku tahu itu. Sebelum kulangkahkan kaki untuk pulang, dia mendatangiku, dan menangis ketika kumemeluknya. Kemudian dia mengangkat wajahnya dari pundakku dan berkata, “kamu sungguh sahabat terbaikku, terima kasih…” dan dia memberikan usapan lembut di kepalaku. Ingin sekali aku mengutarakan, kalau aku ingin lebih dari bersahabat, karena aku mencintainya, tetapi aku terlalu malu.



Beberapa Tahun Kemudian

Sekarang aku duduk diam di dalam masjid. Wanita itu, sahabatku, menikah hari ini. Aku melihatnya mengucapkan ijab kabul dan siap menjejaki hidup baru, menikah dengan pria lain pilihannya. Aku ingin dia menjadi milikku, tetapi aku tahu, dia tak akan pernah berfikir hal yang sama. Sebelum dia meninggalkan tempat ijab kabul, dia melangkah kepadaku dan mengucapkan, “hei, kamu datang!”. Dan dia mengucapkan “terima kasih” dan memberikan usapan lembut di kepalaku. Ingin sekali aku mengutarakan, kalau aku ingin lebih dari bersahabat, karena aku mencintainya, tetapi aku terlalu malu.

Pemakaman

Tahun demi tahun berlalu, aku menatap pedih ke makam yang masih basah, disana berbaring selamanya yang selama ini aku sebut ’sahabat’. Sebelum aku melangkah pergi meninggalkan pemakaman, seseorang teman memberikanku diary yang pernah dimilikinya ketika masih SMU. Inilah yang tertulis: “Aku menatapnya dan aku berharap dia milikku, tetapi aku tahu dia tak pernah berfikir sejauh itu, dan aku tahu itu. Ingin sekali aku mengutarakan, kalau aku ingin lebih dari bersahabat, karena aku mencintainya, tetapi aku terlalu malu. Seandainya saja dia mau mengatakan kalau dia mencintaiku!”

Aku terdiam dan aku pun mulai menangis. Sendiri. Tanpanya yang akan mengusap lembut kepalaku. Selamanya.

Have you ever wondered which hurts the most: saying something and wishing you had not, or saying nothing, and wishing you had?

Disadur dari satu cerita - Jakarta, 24 Agustus 2010.

Repost dari blognya dimas

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment